Aku Bukan Air Seperti Harapmu
Oleh : Siti Nur Aisyah,S.Pd

Aku seorang istri yang sedang mengandung 6 bulan harus
pulang kampung kerumah orang tuaku sendiri hanya sendiri, tanpa didampingi
suami ataupun kerabat. “bangku nomer 4
atas nama bu Nisa ya ?”tanya seorang kernet bus malam, sejenak aku terlepas
dari lamunan masalah-masalahku. “ iya,
benar pak. Ini tiketnya.” akupun menjawab dengan singkat serta menunjukkan
tiket sebagai bukti aku adalah salah satu penumpang bus Titan Mas. Aku menoleh
kearah jendela, mataku tidak henti-hentinya mencari sosok laki-laki yang tadi
menghantarku sampai terminal, dia adalah suamiku, ayah dari bayi yang
kukandung. Orang yang ku hormati saat ini. Dia yang memberikan kasih sayang
berlebih kepadaku setelah kedua orang tuaku. “nyamas, sini toh nyadek sudah dibis” aku memanggilnya sambil
melambaikan tangan. Nyamas dan nyadek adalah panggilan akrab kami setelah kami
menikah. Kami dipertemukan disalah satu kampus di kota Surabaya. Mungkin sudah
jodoh, dan kamipun mengakhiri perkenalan kami dipelaminan. Dia datang dengan membawakan sekantung
plastik makanan ringan untuk bekalku diperjalanan. Suamiku tidak bisa mengantarkanku sampai
kampung halaman, dia hanya bisa mengantarkanku sampai terminal saja. Mungkin
dalam hatinya dia tidak tega melihatku pulang kampung sendiri. Tapi semua iu
terpaksa, dia tidak bisa mengantarkanku karena terkendala masalah cuti kerja.
Suamiku bekerja di salah satu Finance dikota Sumbawa. Karena status kerjanya
yang masih outsourching maka dia hanya boleh cuti kerja maksimal 3 hari saja.
Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk perjalan pulang kampungku dari Sumbawa ke
Surabaya 2 hari. Berat hatinya melepasku pulang. Tapi baginya juga mungkin
dilema sekali kalau harus melarangku pulang. Karena masalah yang sangat rentan
pada kami.
“ Selamat siang,
mohon maaf para penumpang Bus Titan Mas, kami ada sedikit pemberitahuan, bahwa
bis tidak bisa diberangkatkan pada pukul 09.00 WITA. Kita harus menunggu
penumpang untuk pemberangkatan bis berikutnya, mungkin akan mengalami
keterlambatan 2 jam” pengumuman yang diberikan oleh
supir Bus mengagetkan semua penumpang. “
kenapa harus menunggu penumpang berikutnya pak ?” tanya salah satu
penumpang. “ maaf, bapak-ibu, kami hanya
melaksanakan pesan dari kantor. Bahwa penumpang akan digabungkan antara bus 1
dengan bus 2, dikarenakan bus 2
mengalami kerusakan pada mesin”. Jawab pak supir itu kembali.
Karena waktu 2 jam itu masih cukup lama, maka semua
penumpang kembali turun dari bus. Akupun disambut hangat oleh sang suami. Kami
mencari salah satu tempat duduk , 2 jam bagiku cukuplah untuk bercerita kembali
dan menayakan hal-hal yang masih mengganjal dipikiranku. “nyadek yakin mau pulang ini ? tinggalkan nyamas sendirian ?”
percakapan kamipun dimulai olehnya.
“ iya nyamas”.
Jawabku singkat.
“ nyadek kuat tidak dalam
perjalanan nanti itu, biasa kan nyadek mabuk laut. Siapa nanti yang bantu
nyadek dalam perjalanan ?” suamiku bertanya seraya
meraih tanganku sepertinya dia merayuku untuk membatalkan perjalanan pulang
kampung ini.
“ tetep nyamas, gak bisa dirubah. Naydek harus
pulang”. Singkat lagi aku menjawab tanpa
memperdulikan wajahnya yang seolah menngaharapkanku menjawab untuk membatalkan
perjalanan.
Kami berdua membiacarakan antisipasi dijalan saat mabuk
laut ataupun saat perutku sakit. Karena memang sedikit menganggu kalau
diperjalanan dan kelelahan pasti bayi dalam kandunganku menendang-nendang tidak
karuan.
“ nyamas, sudah nyamas kasih
tahu ke mama. Kalau nyadek akan pulang hari ini ?”
tanyaku pada suami, seolah pertanyaan ini nantinya akan membawa kami menyelam
pada masalah yang sedang kita hadapi.
Masalah yang cukup berat yang aku rasakan. Perselisihan antara mertua
dengan menantu. Aku tidak ingat apa puncak masalah yang menyebabkan perselisihan
ini, yang aku ingat hanyalah saat dimana aku dan suamiku harus menahan lapar,
saat itu suamiku pergi menemui orangt tuanya untuk meminjam beras 3 Kg, maksud
hati untuk persediaan 1 minggu sampai suamiku mendapatkan pekerjaan kembali
setelah mengalami PHK disalah satu proyek kerja. Saat itu yang ada dirumah
hanya ayah mertuaku, beliau mempersilahkan aku membawa 3 kg beras. Sementara ibu
mertuaku saat itu berada diluar kota. Tepat jam 23.00 WITA, handphone suamiku
berdering, yang terdengar hanya suara ibu mertuaku dengan keras “ kamu itu ambil beras mama, tidak permisi.
Harus kamu bayar itu Rp.15.000,-, kalau tidak bisa malam ini, besok mama
tunggu”. Hanya kalimat itu yang ada. Pecahlah tangisku, aku tidak kuasa
menahan kekesalan, aku berjanji tidak akan datang dan meminta bantuan apapun
lagi pada mertuaku. Sampai akhirnya 1 bulan berlalu, aku tidak pernah lagi
berkunjung. Tepat di bulan kedua suamiku merayuku untuk tetap bersilaturahim
kesana, karena sebagai anak tetap harus mengalah apapun kesalahan orang tua.
Aku sadar sebagai istri harus mengikuti kata-kata suami. Aku mulai menjalin
silaturahim, tapi setiap kami kesana kami selalu saja diberikan muka yang
masam, bahkan tidak segan-segan pintu tertutup bagi kami. Suasana seperti ini
aku rasakan selama berbulan-bulan sampai saat aku mengandung cucunyapun tidak
ada perubahan suasana. Memang rumah kami dengan mertua sudah terpisah, jarak
antar rumah kami hanya 2 KM. Tapi
rasanya seperti beda kota, bagaimana tidak kalau dalam kesusahan kami tidak
bisa berkeluh kesah.
“sudah nyadek, dan mama juga
mau ke Surabaya tapi setelah nyamas tanya kapan itu. Mama bilang akhir bulan
saja”. Jawab suamiku dengan jelas. Tapi dalam
jawaban itu hatiku sangat ragu apakah benar itu jawaban mama atau jawaban yang
sengaja dibuat suamiku untuk menutupi jawaban yang mungkin tidak perlu disampaikan
padaku. Menit demi menit berlalu hampir
satu jam kami berbicara. Saat kumelihat jarum jam ditanganku sudah menujukkan
pukul 10.45 WITA. Tiba-tiba saja, astaga
aku kaget sampai berasa ingin pingsan dan rasanya anak dalam perutkupun ikut
merasakan bagaimana terkejutnya aku.
Aku mengegam erat tangan suamiku, seperti akan jatuh
rasanya badanku setelah ku melihat dari kejauhan. Aku melihat pintu masuk
terminal ada beberapa orang berjalan sepertinya akan menghampiri bus TITAN MAS.
Bukan banyaknya orang yang mengejutkanku, tetapi beberapa orang dari kerumunan
itu yang kukenal. “MAMA?”. Satu kata
saja yang terucap dari bibirku, yang membuat suamiku kaget melihatku dan secara
singkat mengikuti ke arah mana mataku melihat. Aku menoleh ke arah suamiku, aku
melihat dia juga tidak bisa berucap apapun. Aku tidak tahu apa yang ada
dipikirannya, tapi aku hanya bisa menebak-nebak saja berarti dugaanku akan
jawaban yang diberikan padaku itu adalah bohong. Secepat kilat dan tanpa sadar akupun berkata “ nyamas bohong. Sungguh tega nyamas “.
Kata itu terucap dengan nada yang lirih seperti orang yang telah kecewa.
Suamiku membimbingku mencari tempat duduk yang lumayan sepi. “ Nyadek, tolong denngar penjelasan nyamas.
Demi Allah, nyamas tidak bohong. Kemarin nyamas datang ke rumah mama menanyakan
kapan mama pergi ke Surabaya, menghantar adek pergi daftar kuliah, dan mama
menjawab akhir bulan”. Jelas suamiku. Belum sempat suamiku menjelaskan sampai
selesai sudah berlinang air mataku, pikiranku kalut dalam kekecewaan. Padahal
aku berharap waktu suamiku kemama harusnya meluluhkan hatinya, untuk bisa
mendampingiku pulang ke Surabaya. Kalaupun suamiku tidak bisa menghantarku
pulang. Aku berharap ditemani karena aku sedang mengandung cucunya. “ sabar sayang, mungkin ini semua cobaan.”
Suamiku memelukku sambil menepuk-nepuk punggungku. Tidak henti aku menangis.
Aku menangis karena pikiranku yang tidak karuan. Bagaimana bisa aku dibenci
seperti itu, kenapa mertuaku tega menyia-nyiakanku padahal aku sedang
mengandung cucunya. Padahal berkali-kali aku sudah mohon maaf jika aku ada
salah.
“Para penumpang bus
titan mas mohon segera bersiap-siap, karena 5 menit lagi bus akan berangkat.” Pengumuman
itu memecahkan suasana kalutku. Ya Allah kakiku seperti hendak patah, hatiku
berasa hancur memasuki bus itu, karena aku harus satu bus 2 hari bersama dengan
mertua yang tidak sedikitpun mau menyapaku. Suamiku menghantarkanku masuk
kedalam bis. Dia memberikan ciuman dikeningku. Memintaku bersabar dan tabah.
Setelah itu dia turun dari bus dan menjauh sekitar 3 meter dari pintu bus. Ya Allah..aku hanya
bisa berkomunikasi dengan suamiku melalui tatapan mata saja. Aku tidak kuasa
menanggung beban ini. Seperti banyak tanya dan keluh kesah yang ingin ku
ungkapkan, tapi mulutku tidak sanggup berbicara. Hanya air mata yang mewakili semuanya.
Dan akhirnya aku lihat mama mertuaku masuk kedalam bus beserta adik iparku. Aku
berusaha tersenyum dan menyapa walau hatiku kalut dan air mata ini tetap
mengalir. Tapi apa yang kudapat, mertua dan adik iparku membuang muka. Mereka
berpura-pura sibuk mencari nomer bangku. Aku hanya terdiam saja melihat mereka.
Ya Allah aku harus berbuat apa, aku tidak tahu, berikan aku petunjuk dan
kekuatan ya Allah. Hanya itu yang ada dalam pikirku. Semua penumpang sudah ada
dalam bus dan untuk terakhir kali aku melambaikan tanganku. Aku melihat wajah
suamiku yang juga seperti kecewa, entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku
melihat kaca spion dalam bus, ya Allah apalagi ini kondisi yang harus aku
lewati. Ternyata mertuaku dan adik iparku duduk dibangku persis dibelakangku. Sepanjang perjalanan aku mencoba untuk
bertegur sapa. Tidak ada jawaban bahkan tidak ada wajah hangat yang diberikan
padaku.
Ya Allah sunggguh hamba tidak tahu harus bersikap seperti
apa, hamba marah, hamba kecewa hamba kalut. Menggapa Engkau berikan situasi ini
pada hamba. Sungguh hamba tidak tahu apa yang harus hamba lakukan. Doa itu
terlantun berkali-kali dalam hatiku. Sesaat anak dalam perutku menendang dan
berputar-putar, sepertinya dia juga merasakan kegelisahan hatiku. Aku mencoba
menahan tendangan kuat dari dalam perutku. Sepanjang jalan aku hanya menangis
sambil sesekali aku menghapus air mata dan menyibukkan diri dengan pesan pendek
dari handphoneku. Aku merasa kesepian sangat kesepian. Aku berpikir sanggupkah
aku melakukan perjalanan 2 hari ini dengan situasi yang sangat dingin. Rasanya
seperti terjerembab di padang pasir yang panas tetapi sekaligus merasakan
kedinginan seperti diselimuti salju. Ya
kondisi itulah yang aku alami.
“ Para penumpang
Titan Mas, kita sudah tiba di pelabuhan Poto Tano, silahkan anda bersiap-siap
turun dari bus dan naik kekapal”. Ujar kernet bis
dengan suaranya yang lantang. Hal ini menjadi kebiasaan karena perjalanan
antara sumbawa – jawa memang harus melewati jalan darat dan laut. Saat harus
menyebrang lautan, para penumpang wajib turun dari bus untuk menaiki kapal. Aku
mencoba menguatkan diri dengan pikiranku yang sedang kalut. Dalam pikirku aku
sudah menebak kalau mertuaku tidak akan membantuku dia akan turun dan pergi
begitu saja meninggalkan aku. Ternyata yang terjadi adalah benar. Aku berjalan
sendiri melewati dermaga menuju kapal.
Begitulah perjalananku, aku dalam kesendirian. Sampai
pada hari berikutnya aku sudah tidak tahan, aku mengambil handphoneku menekan
12 digit angka yang sudah biasa aku hafal…
“hallo, nyadek”
sambutan suara dari handphone.
“hallo nyamas, sedang apa ?”
sahutku.
“ini nyamas sedang perbaiki
motor, ada yang rusak sepertinya.” Jawabnya.
“nyamas, apa yg harus aku
lakukan ?” sembari aku menceritakan kondisi yang
kualami saat perjalanan itu, aku menangis berkeluh kesah kepada suamiku
tercinta.
Lama
kami berbicara, dia sepertinya menguatkanku dan tindakan apa yang harus aku
lakukan saat ibu mertuaku bertindak.
Perjalananpun dilanjutkan, tidak sabar rasanya aku ingin
sekali segera sampai di Surabaya. Aku ingin memeluk Bapak dan Ibuku aku ingin
menumpahkan air mataku, aku ingin melepaskan keresahan hatiku. Aku ingin merasa
nyaman dan damai dipelukan mereka. Bus melaju kencang setelah penyebrangan
diselat Bali. Hatiku tidak sabar untuk menghitung beberapa kota selepas
Banyuwangi untuk sampai di Surabaya. Suasana didalam bus masih saja beku
seperti es batu, bagaimanapun upayaku untuk mencairkan es itu, sepertinya akan
semakin membeku.
Pembertian sebelum terakhir, Rumah Makan Paiton. Aku
berniat untuk kali ini aku akan berupaya mencairkan suasana yang semakin
dingin. Aku teringat pesan suamiku saat telpon terakhir kali tadi “ sabar
nyadek, kita sebagai anak harus mengalah. Memang orangtuaku punya sifat yang
keras kepala. Tapi yakin sajalah kalau dia bisa berubah. Jadilah nyadek sebagai
air. Patahkan keras hatinya orangtuaku. Batu saja yang keras akan terkikis oleh
tetesan air.” Hanya kalimat itulah yang membuatku termotivasi dan semakin kuat
untuk melanjutkan perjalananku. Setelah
aku membasuh mukaku di toilet terdekat, aku mengambil piring dan mengisinya
dengan nasi dan lauk yang dihidangkan secukupnya. Mataku berputar mengintari
ruang makan itu. Aku mencari dimanakah mertua dan adik iparku duduk. Itu dia
disudut ruangan, aku melihat masih ada satu kursi kosong dimeja mereka. Aku
menguatkan diri untuk berjalan. Aku duduk dan menyapa ramah seolah dari
perjalanan tadi aku tidak punya masalah apapun. “ apa kabar ma, bagaimana perjalananya ?” tanyakku sambil senyum,
dengan mencoba melepas seluruh bebanku. Tapi apa yang terjadi, mertuaku berdiri
mengambil tas dan pergi begitu saja tanpa satu senyuman ataupun jawaban. Kepergian
mertuaku diikuti pula oleh adik iparku. Sungguh aku hanya terdiam terpaku, aku tidak
sanggup untuk menangis, aku tahan kepedihan ini, aku mengelus perutku. Ingin
kuberbicara pada bayi dalam perutku. Karena saat ini hanya dialah yang aku
punya.
Pemberhentian terakhir, akhirnya terminal Bungurasih Surabaya.
Aku turun sebelum aku mendahului turun untuk terakhir kalinya aku mencoba memposisikan
diriku sebagai air kembali. Aku mempersilahkan pada mertuaku untuk mampir
kerumah pada saat acara 7 bulanan kehamilanku.
Aku pamit dan berusaha untuk berjabat tangan. Tapi kembali lagi bukan
jawaban yang aku terima, aku menerima muka masam dari mereka, mereka
berpura-pura sibuk membereskan barang. Dalam kekuatan aku turun dari bus
mencari taksi dan pulang. Alhamdulillah kesedihanku terlepas begitu saja saat
melihat senyum manis ibu dan bapakku yang menyambut hangat kedatanganku
dirumah, rumah penuh kedamaian. Seraya dalam hatiku mengatakan “ maafkan aku nyamas, aku tidak bisa menjadi
air seperti yang kau harapkan, aku tak bisa meluluhkan batu yang kau berikan.
Biarlah keadaan dan waktu yang akan menjawab kapan batu itu akan terbelah. Bersabar
berdo’a pada Allah lah akan aku kerjakan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar