sponsbob

Senin, 10 Februari 2014

Cerpen Kehidupan



Aku Bukan Air Seperti Harapmu
Oleh : Siti Nur Aisyah,S.Pd
Harinya pun telah tiba, aku harus segera berkemas untuk pulang kampung. Sudah hampir satu tahun aku tidak pulang setelah pernikahan itu. Aku dengan bayi  6 bulan dalam perutku harus berjuang untuk 2 hari perjalanan menuju kampung halaman, harus melewati 3 lautan, untuk sampai kesana, kampung halaman tercinta bersama orang tuaku yang selalu memberikan kasih sayang padaku. Aku merasa senang karena aku akan bertemu mereka. Tapi  dibalik rasa senang itu aku harus menelan pahitnya kenyataan.
Aku seorang istri yang sedang mengandung 6 bulan harus pulang kampung kerumah orang tuaku sendiri hanya sendiri, tanpa didampingi suami ataupun kerabat. “bangku nomer 4 atas nama bu Nisa ya ?”tanya seorang kernet bus malam, sejenak aku terlepas dari lamunan masalah-masalahku. “ iya, benar pak. Ini tiketnya.” akupun menjawab dengan singkat serta menunjukkan tiket sebagai bukti aku adalah salah satu penumpang bus Titan Mas. Aku menoleh kearah jendela, mataku tidak henti-hentinya mencari sosok laki-laki yang tadi menghantarku sampai terminal, dia adalah suamiku, ayah dari bayi yang kukandung. Orang yang ku hormati saat ini. Dia yang memberikan kasih sayang berlebih kepadaku setelah kedua orang tuaku. “nyamas, sini toh nyadek sudah dibis” aku memanggilnya sambil melambaikan tangan. Nyamas dan nyadek adalah panggilan akrab kami setelah kami menikah. Kami dipertemukan disalah satu kampus di kota Surabaya. Mungkin sudah jodoh, dan kamipun mengakhiri perkenalan kami dipelaminan.  Dia datang dengan membawakan sekantung plastik makanan ringan untuk bekalku diperjalanan.  Suamiku tidak bisa mengantarkanku sampai kampung halaman, dia hanya bisa mengantarkanku sampai terminal saja. Mungkin dalam hatinya dia tidak tega melihatku pulang kampung sendiri. Tapi semua iu terpaksa, dia tidak bisa mengantarkanku karena terkendala masalah cuti kerja. Suamiku bekerja di salah satu Finance dikota Sumbawa. Karena status kerjanya yang masih outsourching maka dia hanya boleh cuti kerja maksimal 3 hari saja. Sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk perjalan pulang kampungku dari Sumbawa ke Surabaya 2 hari. Berat hatinya melepasku pulang. Tapi baginya juga mungkin dilema sekali kalau harus melarangku pulang. Karena masalah yang sangat rentan pada kami.
“ Selamat siang, mohon maaf para penumpang Bus Titan Mas, kami ada sedikit pemberitahuan, bahwa bis tidak bisa diberangkatkan pada pukul 09.00 WITA. Kita harus menunggu penumpang untuk pemberangkatan bis berikutnya, mungkin akan mengalami keterlambatan 2 jam” pengumuman yang diberikan oleh supir Bus mengagetkan semua penumpang. “ kenapa harus menunggu penumpang berikutnya pak ?” tanya salah satu penumpang. “ maaf, bapak-ibu, kami hanya melaksanakan pesan dari kantor. Bahwa penumpang akan digabungkan antara bus 1 dengan bus 2, dikarenakan bus  2 mengalami kerusakan pada mesin”. Jawab pak supir itu kembali.
Karena waktu 2 jam itu masih cukup lama, maka semua penumpang kembali turun dari bus. Akupun disambut hangat oleh sang suami. Kami mencari salah satu tempat duduk , 2 jam bagiku cukuplah untuk bercerita kembali dan menayakan hal-hal yang masih mengganjal dipikiranku. “nyadek yakin mau pulang ini ? tinggalkan nyamas sendirian ?” percakapan kamipun dimulai olehnya.
“ iya nyamas”. Jawabku singkat.
“ nyadek kuat tidak dalam perjalanan nanti itu, biasa kan nyadek mabuk laut. Siapa nanti yang bantu nyadek dalam perjalanan ?” suamiku bertanya seraya meraih tanganku sepertinya dia merayuku untuk membatalkan perjalanan pulang kampung ini.
  tetep nyamas, gak bisa dirubah. Naydek harus pulang”. Singkat lagi aku menjawab tanpa memperdulikan wajahnya yang seolah menngaharapkanku menjawab untuk membatalkan perjalanan.
Kami berdua membiacarakan antisipasi dijalan saat mabuk laut ataupun saat perutku sakit. Karena memang sedikit menganggu kalau diperjalanan dan kelelahan pasti bayi dalam kandunganku menendang-nendang tidak karuan.
“ nyamas, sudah nyamas kasih tahu ke mama. Kalau nyadek akan pulang hari ini ?” tanyaku pada suami, seolah pertanyaan ini nantinya akan membawa kami menyelam pada masalah yang sedang kita hadapi.  Masalah yang cukup berat yang aku rasakan. Perselisihan antara mertua dengan menantu. Aku tidak ingat apa puncak masalah yang menyebabkan perselisihan ini, yang aku ingat hanyalah saat dimana aku dan suamiku harus menahan lapar, saat itu suamiku pergi menemui orangt tuanya untuk meminjam beras 3 Kg, maksud hati untuk persediaan 1 minggu sampai suamiku mendapatkan pekerjaan kembali setelah mengalami PHK disalah satu proyek kerja. Saat itu yang ada dirumah hanya ayah mertuaku, beliau mempersilahkan aku membawa 3 kg beras. Sementara ibu mertuaku saat itu berada diluar kota. Tepat jam 23.00 WITA, handphone suamiku berdering, yang terdengar hanya suara ibu mertuaku dengan keras “ kamu itu ambil beras mama, tidak permisi. Harus kamu bayar itu Rp.15.000,-, kalau tidak bisa malam ini, besok mama tunggu”. Hanya kalimat itu yang ada. Pecahlah tangisku, aku tidak kuasa menahan kekesalan, aku berjanji tidak akan datang dan meminta bantuan apapun lagi pada mertuaku. Sampai akhirnya 1 bulan berlalu, aku tidak pernah lagi berkunjung. Tepat di bulan kedua suamiku merayuku untuk tetap bersilaturahim kesana, karena sebagai anak tetap harus mengalah apapun kesalahan orang tua. Aku sadar sebagai istri harus mengikuti kata-kata suami. Aku mulai menjalin silaturahim, tapi setiap kami kesana kami selalu saja diberikan muka yang masam, bahkan tidak segan-segan pintu tertutup bagi kami. Suasana seperti ini aku rasakan selama berbulan-bulan sampai saat aku mengandung cucunyapun tidak ada perubahan suasana. Memang rumah kami dengan mertua sudah terpisah, jarak antar rumah kami hanya 2 KM.  Tapi rasanya seperti beda kota, bagaimana tidak kalau dalam kesusahan kami tidak bisa berkeluh kesah.
“sudah nyadek, dan mama juga mau ke Surabaya tapi setelah nyamas tanya kapan itu. Mama bilang akhir bulan saja”. Jawab suamiku dengan jelas. Tapi dalam jawaban itu hatiku sangat ragu apakah benar itu jawaban mama atau jawaban yang sengaja dibuat suamiku untuk menutupi jawaban yang mungkin tidak perlu disampaikan padaku.  Menit demi menit berlalu hampir satu jam kami berbicara. Saat kumelihat jarum jam ditanganku sudah menujukkan pukul  10.45 WITA. Tiba-tiba saja, astaga aku kaget sampai berasa ingin pingsan dan rasanya anak dalam perutkupun ikut merasakan bagaimana terkejutnya aku.
Aku mengegam erat tangan suamiku, seperti akan jatuh rasanya badanku setelah ku melihat dari kejauhan. Aku melihat pintu masuk terminal ada beberapa orang berjalan sepertinya akan menghampiri bus TITAN MAS. Bukan banyaknya orang yang mengejutkanku, tetapi beberapa orang dari kerumunan itu yang kukenal. “MAMA?”. Satu kata saja yang terucap dari bibirku, yang membuat suamiku kaget melihatku dan secara singkat mengikuti ke arah mana mataku melihat. Aku menoleh ke arah suamiku, aku melihat dia juga tidak bisa berucap apapun. Aku tidak tahu apa yang ada dipikirannya, tapi aku hanya bisa menebak-nebak saja berarti dugaanku akan jawaban yang diberikan padaku itu adalah bohong.  Secepat kilat dan tanpa sadar akupun berkata “ nyamas bohong. Sungguh tega nyamas “. Kata itu terucap dengan nada yang lirih seperti orang yang telah kecewa. Suamiku membimbingku mencari tempat duduk yang lumayan sepi. “ Nyadek, tolong denngar penjelasan nyamas. Demi Allah, nyamas tidak bohong. Kemarin nyamas datang ke rumah mama menanyakan kapan mama pergi ke Surabaya, menghantar adek pergi daftar kuliah, dan mama menjawab akhir bulan”. Jelas suamiku. Belum sempat suamiku menjelaskan sampai selesai sudah berlinang air mataku, pikiranku kalut dalam kekecewaan. Padahal aku berharap waktu suamiku kemama harusnya meluluhkan hatinya, untuk bisa mendampingiku pulang ke Surabaya. Kalaupun suamiku tidak bisa menghantarku pulang. Aku berharap ditemani karena aku sedang mengandung cucunya. “ sabar sayang, mungkin ini semua cobaan.” Suamiku memelukku sambil menepuk-nepuk punggungku. Tidak henti aku menangis. Aku menangis karena pikiranku yang tidak karuan. Bagaimana bisa aku dibenci seperti itu, kenapa mertuaku tega menyia-nyiakanku padahal aku sedang mengandung cucunya. Padahal berkali-kali aku sudah mohon maaf jika aku ada salah.
“Para penumpang bus titan mas mohon segera bersiap-siap, karena 5 menit lagi bus akan berangkat.” Pengumuman itu memecahkan suasana kalutku. Ya Allah kakiku seperti hendak patah, hatiku berasa hancur memasuki bus itu, karena aku harus satu bus 2 hari bersama dengan mertua yang tidak sedikitpun mau menyapaku. Suamiku menghantarkanku masuk kedalam bis. Dia memberikan ciuman dikeningku. Memintaku bersabar dan tabah. Setelah itu dia turun dari bus dan menjauh sekitar  3 meter dari pintu bus. Ya Allah..aku hanya bisa berkomunikasi dengan suamiku melalui tatapan mata saja. Aku tidak kuasa menanggung beban ini. Seperti banyak tanya dan keluh kesah yang ingin ku ungkapkan, tapi mulutku tidak sanggup berbicara. Hanya air mata yang mewakili semuanya. Dan akhirnya aku lihat mama mertuaku masuk kedalam bus beserta adik iparku. Aku berusaha tersenyum dan menyapa walau hatiku kalut dan air mata ini tetap mengalir. Tapi apa yang kudapat, mertua dan adik iparku membuang muka. Mereka berpura-pura sibuk mencari nomer bangku. Aku hanya terdiam saja melihat mereka. Ya Allah aku harus berbuat apa, aku tidak tahu, berikan aku petunjuk dan kekuatan ya Allah. Hanya itu yang ada dalam pikirku. Semua penumpang sudah ada dalam bus dan untuk terakhir kali aku melambaikan tanganku. Aku melihat wajah suamiku yang juga seperti kecewa, entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku melihat kaca spion dalam bus, ya Allah apalagi ini kondisi yang harus aku lewati. Ternyata mertuaku dan adik iparku duduk dibangku persis dibelakangku.  Sepanjang perjalanan aku mencoba untuk bertegur sapa. Tidak ada jawaban bahkan tidak ada wajah hangat yang diberikan padaku.
Ya Allah sunggguh hamba tidak tahu harus bersikap seperti apa, hamba marah, hamba kecewa hamba kalut. Menggapa Engkau berikan situasi ini pada hamba. Sungguh hamba tidak tahu apa yang harus hamba lakukan. Doa itu terlantun berkali-kali dalam hatiku. Sesaat anak dalam perutku menendang dan berputar-putar, sepertinya dia juga merasakan kegelisahan hatiku. Aku mencoba menahan tendangan kuat dari dalam perutku. Sepanjang jalan aku hanya menangis sambil sesekali aku menghapus air mata dan menyibukkan diri dengan pesan pendek dari handphoneku. Aku merasa kesepian sangat kesepian. Aku berpikir sanggupkah aku melakukan perjalanan 2 hari ini dengan situasi yang sangat dingin. Rasanya seperti terjerembab di padang pasir yang panas tetapi sekaligus merasakan kedinginan seperti diselimuti salju.  Ya kondisi itulah yang aku alami.
“ Para penumpang Titan Mas, kita sudah tiba di pelabuhan Poto Tano, silahkan anda bersiap-siap turun dari bus dan naik kekapal”. Ujar kernet bis dengan suaranya yang lantang. Hal ini menjadi kebiasaan karena perjalanan antara sumbawa – jawa memang harus melewati jalan darat dan laut. Saat harus menyebrang lautan, para penumpang wajib turun dari bus untuk menaiki kapal. Aku mencoba menguatkan diri dengan pikiranku yang sedang kalut. Dalam pikirku aku sudah menebak kalau mertuaku tidak akan membantuku dia akan turun dan pergi begitu saja meninggalkan aku. Ternyata yang terjadi adalah benar. Aku berjalan sendiri melewati dermaga menuju kapal.
Begitulah perjalananku, aku dalam kesendirian. Sampai pada hari berikutnya aku sudah tidak tahan, aku mengambil handphoneku menekan 12 digit angka yang sudah biasa aku hafal…
“hallo, nyadek” sambutan suara dari handphone.
“hallo nyamas, sedang apa ?” sahutku.
“ini nyamas sedang perbaiki motor, ada yang rusak sepertinya.” Jawabnya.
“nyamas, apa yg harus aku lakukan ?” sembari aku menceritakan kondisi yang kualami saat perjalanan itu, aku menangis berkeluh kesah kepada suamiku tercinta.
Lama kami berbicara, dia sepertinya menguatkanku dan tindakan apa yang harus aku lakukan saat ibu mertuaku bertindak.
Perjalananpun dilanjutkan, tidak sabar rasanya aku ingin sekali segera sampai di Surabaya. Aku ingin memeluk Bapak dan Ibuku aku ingin menumpahkan air mataku, aku ingin melepaskan keresahan hatiku. Aku ingin merasa nyaman dan damai dipelukan mereka. Bus melaju kencang setelah penyebrangan diselat Bali. Hatiku tidak sabar untuk menghitung beberapa kota selepas Banyuwangi untuk sampai di Surabaya. Suasana didalam bus masih saja beku seperti es batu, bagaimanapun upayaku untuk mencairkan es itu, sepertinya akan semakin membeku.
Pembertian sebelum terakhir, Rumah Makan Paiton. Aku berniat untuk kali ini aku akan berupaya mencairkan suasana yang semakin dingin. Aku teringat pesan suamiku saat telpon terakhir kali tadi “ sabar nyadek, kita sebagai anak harus mengalah. Memang orangtuaku punya sifat yang keras kepala. Tapi yakin sajalah kalau dia bisa berubah. Jadilah nyadek sebagai air. Patahkan keras hatinya orangtuaku. Batu saja yang keras akan terkikis oleh tetesan air.” Hanya kalimat itulah yang membuatku termotivasi dan semakin kuat untuk melanjutkan perjalananku.  Setelah aku membasuh mukaku di toilet terdekat, aku mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dan lauk yang dihidangkan secukupnya. Mataku berputar mengintari ruang makan itu. Aku mencari dimanakah mertua dan adik iparku duduk. Itu dia disudut ruangan, aku melihat masih ada satu kursi kosong dimeja mereka. Aku menguatkan diri untuk berjalan. Aku duduk dan menyapa ramah seolah dari perjalanan tadi aku tidak punya masalah apapun. “ apa kabar ma, bagaimana perjalananya ?” tanyakku sambil senyum, dengan mencoba melepas seluruh bebanku. Tapi apa yang terjadi, mertuaku berdiri mengambil tas dan pergi begitu saja tanpa satu senyuman ataupun jawaban. Kepergian mertuaku diikuti pula oleh adik iparku. Sungguh aku hanya terdiam terpaku, aku tidak sanggup untuk menangis, aku tahan kepedihan ini, aku mengelus perutku. Ingin kuberbicara pada bayi dalam perutku. Karena saat ini hanya dialah yang aku punya.
Pemberhentian terakhir, akhirnya terminal Bungurasih Surabaya. Aku turun sebelum aku mendahului turun untuk terakhir kalinya aku mencoba memposisikan diriku sebagai air kembali. Aku mempersilahkan pada mertuaku untuk mampir kerumah pada saat acara 7 bulanan kehamilanku.  Aku pamit dan berusaha untuk berjabat tangan. Tapi kembali lagi bukan jawaban yang aku terima, aku menerima muka masam dari mereka, mereka berpura-pura sibuk membereskan barang. Dalam kekuatan aku turun dari bus mencari taksi dan pulang. Alhamdulillah kesedihanku terlepas begitu saja saat melihat senyum manis ibu dan bapakku yang menyambut hangat kedatanganku dirumah, rumah penuh kedamaian. Seraya dalam hatiku mengatakan “ maafkan aku nyamas, aku tidak bisa menjadi air seperti yang kau harapkan, aku tak bisa meluluhkan batu yang kau berikan. Biarlah keadaan dan waktu yang akan menjawab kapan batu itu akan terbelah. Bersabar berdo’a pada Allah lah akan aku kerjakan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar