HARUSKAH MEMBOHONGI PENDIDIKAN
Raport atau yang biasa dikatakan buku hasil evaluasi belajar
siswa tiap semester merupakan alat penghubung antara sekolah dengan orang tua
terhadap hasil belajar siswa dalam satu semester di bangku sekolah. Raport
berisikan kumpulan angka yang mencerminkan sejauh mana siswa telah mengenyam
pengetahuan masing-masing pelajaran, dalam raprt itupula terdapat deskripsi
kemampuan penyerapan pelajaran seorang siswa.
Kebanyakan orang tua akan merasakan kelegaan tersendiri
apabila melihat hasil nilai siswa berada diatas nilai KKM (kriteria Ketuntasan
Mengajar), hal ini menunjukkan siswa telah mampu mengejar kriteria tuntasnya
dalam belajar. Tapi dilain pihak terdapat permasalahn yang lebih rentan
terhadap pencerminan nilai dalam raport, karena nilai yang tercantum dalam
raport sesungguhnya terformulasi dari berbagai aspek dalam pembelajaran.
Dimulai dari penilaian afektif, psikomotorik sampai dengan kognitif. Adapaun
masalah yang lebih fatal adalah ketika si anak (siswwa) tersebut diberikan
nilai tuntas dengan alasan “sebagai seorang guru, tidak tahu masa depan anak
bagaimana. Guru hanya membantu sampai batas ini”. Kalau dipikir lebih mendalam
apakah benar bahwa tindakan guru dengan menuntaskan niali siswa secara otomatis
adalah usaha guru membantu, atau bahkan akan menjerumuskan siswa pada
ketidaktahuannya akan kurang mendalamnya siswa tersebut menggali potensi dalam
dirinya.
Seperti sautu cerita yang pernah terjadi di suatu daerah:
ada seorang siswa, sebut saja namanya algi, dia adalah seorang siswa yang
kesehariannya sangat malas, pekerjaan rumah ataupun dalam proses belajar dia
tidak kurang merespon. Semua pihak disekolah turun tangan, dari guru, wali
kelas, bimbingan konseling dan bagian kesiswaan. Algi tidak pernah merubah
tingkah lakunya, akhirnya keputusan memanggil orang tua. Ternyata si algi
adalah anak yang beraasal dari keluarga broken home. Ibunya meninggal dan
ayahnya menikah lagi, dia tidak lagi hidup bersama orang tua, dia hidup bersama
sang nenek yang mengasuhnya. Neneknyapun datang kesekolah sebagai wali dari
algi, setelah diberikan penjelasan oleh sekolah mengenai masalah algi dalam
proses pembelajaran, nenek tersebut hanya memasrahkan pada sekolah. Sekolah
merasa perihatin dengan algi, berbagai cara dicoba tidak terdapat perubahan
yang signifikan pada algi. Sampai pada akhirnya kenaikan kelas dan penerimaan
raport. Banyak sekali guru yang mengeluhkan keadaan nilai algi, tetapi
kebijakan sekolah adalah tetaap memberikan nilai tuntas pada algi hanya dengan
remidi atau mengerjakan beberapa soal. Tahun demi tahun berlalu algi akhirnya
tamat. Setahun kemudian ada salah seorang guru bertemu dengan algi, dia
terlihat tidak jauh berbeda dengan masa sekolahnya. Sang guru bertanya apakah
algi sudah memounyai pekerjaan. Algi menjawab”belum”, sang guru heran mengapa
belum mendapat pekerjaan. Algipiun menjelaskan, saya memang mempunyai ijasah,
nilai sayapun berada pada standar nilai, tetapi pada saat test masuk kerja saya
tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, saya tidak mampu
mengerjakan TPA yang berisi matematika dasar dan saya tidak pernah bisa
mempraktekan penggunaan komputer, sehingga pihak tempat saya melamar kerja
meragukan ijasah dan nilai yang saya terima.
Cerita diatas merupakan gambaran betapa bahayanya jika kebijakan
penuntasan nilai terus saja dilaukakan. Memang seorang guru tidak bisa
menggambarkan nasib masa depaan anak, tetapi setidaknya kriteria penuntasan
nilai haruslah di dasari dari berbagai aspek. Akan menjadi PR yang besar bagi
tenaga pendidik apabila terus menerus memberikan kebohongan akan pendidikan.
Bukannya pendidikan hakikatnya memanusiakan manusia dan bertujuan mencerdasakan
kehidupan bangsa seperti yang tertuang dalam UUD 1945. Pada dasarnya orang tua
menitipkan anak disekolah adalah untuk menjadikan anak tersebut mempunyai bekal
dalam menjalani kehidupan nantinya, bukan hanya sekedar sekolah dan mendapat
nilai. Guru seharusnya menuntaskan PR semacam ini. Mencari solusi bagaimana
pendidikan itu akan mengasilkan output yang lebih berkualitas, output yang
mempunyai daya saing, output yang siap untuk terjun dalam kehidupan
bermasyarakat.
Mungkin tak hanya disuatu daerah yang telah diceritakan
sebelumnya, mungkin ada didaerah lainnya yang mempunyai permasalahan yang
hampir sama atau bahkan lebih parah. Marilah dunia pendidikan kita
menyelesaikan PR ini dengan solusi yang pasti.
Apabila rekan-rekan mempunyai solusi terhadap permasalahan
seperti ini mari kita bahas bersama untuk mencari solusi demi terwujudnya
output pendidikan yang berkualitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar